Jangan Baca Kolom Komentar: Ketika Semua Orang Jadi Ahli dalam Menghakimi

"Yang bawa saja tak bilang berat, mengapa yang lihat sakit matanya?"

ist

Kalimat itu terasa begitu relevan hari ini, ketika banyak orang lebih cepat berkomentar daripada memahami.

Di era digital seperti sekarang, profesi yang paling diminati mungkin bukan dokter, pengacara, atau insinyur. Tapi komentator dadakanmereka yang selalu punya pendapat untuk segala hal, meski kadang tak tahu pokok masalahnya. Melalui media sosial, semua orang kini memiliki panggung dan mikrofon sendiri. Sayangnya, bukan untuk membangun, tapi sering kali untuk menghakimi.

Berapa banyak dari kita yang bekerja keras, berdarah-darah, dan berkorban dalam diam, namun justru disambut dengan komentar sinis dari orang yang bahkan tidak tahu apa yang sedang kita perjuangkan? Seseorang memulai usaha kecil, langsung dibilang pamer. Seorang perempuan berkarier, dicap melupakan kodrat. Seorang aktivis bersuara, dituduh cari panggung. Padahal, mereka hanya mencoba menjalani hidup dengan caranya masing-masing.

Fenomena ini tak lepas dari budaya digital yang memberi ruang terlalu luas untuk opini, tanpa diimbangi rasa tanggung jawab. Komentar-komentar pedas sering kali datang bukan dari niat untuk mengoreksi, tapi murni untuk merendahkan. Ironisnya, pelaku komentar ini tak pernah berada di posisi yang sama, tak pernah mencoba merasakan bagaimana rasanya memikul beban yang mereka nilai dari kejauhan.

Bagaimana kita merespons?

Mungkin kita bisa belajar dari film "Wreck It Ralph 2", saat tokoh Ralph mencoba berselancar di internet dan tergoda membaca kolom komentar tentang dirinya. Di situ, ia diingatkan satu hal penting: “Jangan pernah baca kolom komentar!”. Karena pada titik tertentu, kolom komentar bukanlah tempat untuk mencari masukan, melainkan tempat di mana empati sering kali mati.

Tentu, ini bukan ajakan untuk anti-kritik. Kritik membangun tetap penting untuk perbaikan. Tapi ada perbedaan besar antara mengkritik dan mencaci. Antara memberi masukan dan menyalurkan frustrasi. Kita harus bisa membedakan mana suara yang layak didengar, dan mana yang cukup dijawab dengan senyuman.

Maka, teruslah berbuat baik. Teruslah berbagi. Selama yang kita lakukan bermanfaat dan tidak merugikan orang lain, lanjutkan saja. Jangan beri ruang bagi komentar kosong untuk mengusik ketenangan kita.

Dan jika suatu saat komentar itu terlanjur terbaca? Tersenyumlah. Ucapkan “terima kasih” dalam hati. Lalu lanjutkan langkahmu. Karena tak semua orang harus mengerti perjuanganmu, yang penting kamu tahu apa yang sedang kamu kerjakan dan mengapa kamu melakukannya.

Sebab, yang membawa beban tak pernah mengeluh, hanya yang menonton yang sibuk menilai.

Oleh : Bang Iwan Bule

0 Komentar