Hijrah Menuju Kebaikan: Menjadikan 1 Muharram Momentum Perbaikan Diri

Penampilan Pawai Ta'aruf dari pelajar di Kota Sabang

TAHUN BARU Hijriah 1 Muharram 1447 H kembali menyapa umat Islam di seluruh dunia. Bagi masyarakat Muslim, peringatan tahun baru ini bukan hanya pergantian kalender semata, melainkan sebuah momentum penuh makna yang mengingatkan pada salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah Islam, yakni hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW bersama para sahabat dari Kota Mekkah menuju Kota Madinah pada tahun 622 Masehi.

Hijrah itu bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan tonggak lahirnya masyarakat Islam yang lebih terorganisir, berdaya, dan beradab. Dari peristiwa inilah, kalender Hijriah ditetapkan sebagai penanda perjalanan umat Islam. Muharram pun menjadi bulan penuh kemuliaan, sebuah waktu yang oleh umat Muslim dijadikan sebagai momen evaluasi, introspeksi, sekaligus langkah perbaikan diri.

Kini, setelah 1.400 tahun lebih berlalu, peristiwa hijrah tetap relevan untuk direnungi. Bukan lagi dalam makna fisik berpindah tempat, melainkan hijrah secara spiritual dan moral: meninggalkan hal-hal buruk, memperbaiki diri, serta menapaki jalan kebaikan yang lebih bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.

Ketua DPRK Sabang, Magdalaina, mengajak masyarakat untuk menjadikan 1 Muharram 1447 H sebagai momentum hijrah menuju perbaikan diri. Menurutnya, perayaan Tahun Baru Islam seharusnya bukan hanya seremoni, melainkan kesempatan untuk melakukan muhasabah, menilai kembali apa yang sudah dilakukan di tahun sebelumnya, lalu berkomitmen memperbaikinya di tahun yang baru.

Peserta pwai dari SMP Pesantren Almujaddid Kota Sabang

“Yang terpenting dalam peringatan 1 Muharram ini adalah renungan. Kita harus menjadikannya sebagai momentum hijrah dalam perbaikan diri. Jika niat kita benar, insya Allah Allah SWT akan meridai setiap langkah perubahan itu,” ujar Magdalaina.

Ia menekankan bahwa hijrah sejatinya adalah perjalanan spiritual setiap individu. Bukan lagi soal berpindah dari satu kota ke kota lain, melainkan transformasi dari kondisi buruk menuju kondisi yang lebih baik.

“Bila niat kita ingin berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya, insya Allah kita akan mendapatkan ridha Allah SWT. Semua itu kembali pada diri kita sendiri: sejauh mana kita mau mengevaluasi diri untuk perbaikan,” tambahnya.

Dalam tradisi Islam, Muharram disebut sebagai salah satu dari empat bulan haram, bulan yang dimuliakan Allah. Pada bulan ini, umat Islam dianjurkan memperbanyak amal kebaikan, ibadah, dan menjauhi perbuatan dosa.

Magdalaina menegaskan, momen Muharram harus dimaknai sebagai kesempatan melipatgandakan kebaikan. Di tengah dinamika kehidupan, ujian, dan tantangan, manusia harus mampu melihat setiap peristiwa sebagai pembelajaran.

“Bersyukur karena kita masih diberi kesehatan dan kelancaran berpikir. Setiap dinamika hidup, baik suka maupun duka, harus menjadi pengalaman berharga. Dari sanalah kita memaknai perjalanan hidup, sehingga tahun baru Hijriah benar-benar menjadi momen perubahan,” jelasnya.

Ketua DPRK Sabang Magdalaina

Dalam penjelasannya, Magdalaina menyebut ada dua bentuk hijrah dalam ajaran Islam. Pertama adalah hijrah fisik, yakni perpindahan nyata yang dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabat dari Mekkah ke Madinah. Perjalanan itu penuh pengorbanan, melewati padang pasir luas, terik matahari, badai gurun, hingga medan bebatuan. Semua rintangan itu dijalani dengan keteguhan iman, hanya demi menyelamatkan akidah.

Hijrah fisik ini, menurutnya, adalah simbol pengorbanan luar biasa. Meski kewajiban hijrah fisik sudah berakhir setelah penaklukan Mekkah, semangatnya harus tetap hidup dalam jiwa generasi Muslim hari ini.

Kedua adalah hijrah rohani. Hijrah ini tidak memerlukan perpindahan tempat, melainkan perubahan pada hati, pikiran, perilaku, dan jiwa. Dari yang buruk menuju yang baik, dari yang baik menuju yang lebih baik.

“Pertanyaannya adalah apakah kita mau berhijrah secara rohani? Mau introspeksi diri dari kesalahan yang kita perbuat lalu memperbaikinya ke arah yang lebih baik lagi. Karena Allah tidak akan mengubah suatu kaum, kecuali kaum itu mau mengubah dirinya sendiri,” tegas Magdalaina.

Di era modern ini, tantangan umat Muslim tentu berbeda dibandingkan masa Rasulullah. Jika dulu hijrah dilakukan untuk menyelamatkan akidah dari tekanan fisik dan ancaman, kini hijrah bermakna perjuangan melawan hawa nafsu, kebiasaan buruk, hingga pengaruh negatif dari arus globalisasi.

Hijrah masa kini bisa berarti meninggalkan sifat malas, menggantinya dengan semangat kerja keras. Bisa pula berarti menjauhi gaya hidup konsumtif yang merugikan, lalu beralih pada pola hidup sederhana dan produktif. Hijrah juga bisa diartikan sebagai komitmen meninggalkan ujaran kebencian di media sosial, lalu menggantinya dengan konten positif yang memberi manfaat.

Dengan demikian, hijrah bukan sekadar jargon spiritual, melainkan strategi aktual untuk menghadapi tantangan zaman.

Setiap pergantian tahun adalah momentum evaluasi. Dalam perspektif Islam, Tahun Baru Hijriah seharusnya menjadi titik tolak introspeksi lebih mendalam dibandingkan sekadar resolusi tahunan.

Pelepasan peserta pawai oleh Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kota Sabang

Hijrah mengajarkan bahwa perubahan tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus diiringi niat yang tulus dan usaha nyata. Inilah yang ditekankan Magdalaina, bahwa hijrah harus dimulai dari diri sendiri.

“Hijrah rohani adalah pembelajaran nilai kebaikan untuk diri sendiri. Dari situlah kita akan melangkah menuju kehidupan yang lebih baik, dunia maupun akhirat,” ungkapnya.

Selain individu, hijrah juga relevan secara kolektif, terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Semangat hijrah dapat menjadi inspirasi untuk memperbaiki hubungan sosial, menguatkan persatuan, serta memperkokoh solidaritas.

Di tengah dinamika sosial dan politik, Muharram dapat dijadikan momentum untuk meredam perbedaan, mengedepankan musyawarah, serta membangun kerja sama. Semangat hijrah juga dapat mendorong pemerintah daerah, masyarakat sipil, hingga lembaga keagamaan untuk bersinergi dalam menciptakan kehidupan yang lebih harmonis.

Tahun Baru Hijriah adalah ajakan untuk menatap masa depan dengan penuh optimisme. Setiap Muslim diajak untuk meninggalkan masa lalu yang penuh kekurangan, lalu melangkah dengan tekad memperbaiki diri.

Momentum 1 Muharram ini mengingatkan bahwa hidup adalah perjalanan panjang, penuh ujian, dan hanya bisa dijalani dengan kesabaran serta keikhlasan. Seperti Rasulullah SAW yang penuh keteguhan dalam menghadapi tantangan hijrah, umat Muslim masa kini pun dituntut memiliki kesabaran dan keteguhan hati.

Hijrah adalah perjalanan sepanjang hayat. Bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan spirit yang harus terus hidup dalam kehidupan sehari-hari. Dari hijrah fisik Rasulullah SAW kita belajar tentang pengorbanan, dari hijrah rohani kita belajar tentang introspeksi dan transformasi diri.

“Hijrah secara rohani inilah yang harus kita lakukan untuk terus memperbaiki diri. Jika setiap individu berkomitmen melakukan hijrah ke arah yang lebih baik, maka masyarakat akan semakin kuat dan berkah,” tutup Magdalaina.

Dengan demikian, Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H bukan hanya seremoni, melainkan momentum untuk menyalakan semangat hijrah. Sebuah perjalanan menuju kebaikan, perbaikan diri, dan kehidupan yang lebih bermakna.(ADV)

0 Komentar