Wisata Trekking Menyusuri Sejarah dan Alam Sabang

Foto | situs peninggalan sejarah dalam rangka pengembangan Wisata Kota Tua di Sabang, salah satunya adalah Gapura Perumahan Sabang Maskapai 1909

MENYUSURI destinasi wisata alam Sabang lewat trekking atau berjalan kaki, kini mulai menjadi tren bagi para wisatawan.

Ini dilakukan bukan sekadar pilihan wisata alternatif, tetapi menjadi pintu masuk untuk memahami denyut nadi menyusuri kota tua dan jejak sejarah kolonial, hingga menikmati lebih dalam berbagai bentuk lanskap alam yang banyak tersebar di Kota Sabang.

Aktivitas berjalan kaki di kota wisata atau urban trekking yang menjadi cara baru menikmati Sabang diakui ada kenikmatan tersendiri. Karena yang didapati tak hanya kesegaran jasmani tapi metode ini mengajak wisatawan lebih menyelami nilai-nilai sejarah dan budaya yang lekat pada nuansa alam. 

Dimulai dari kawasan kota tua Sabang yang penuh peninggalan kolonial, hingga kawasan alam seperti Gunung Jaboi dan Taman Hutan Kilometer Nol, Sabang menyuguhkan trek visual yang sangat memikat.

Foto | Seorang nelayan sedang memancing ikan di Bendungan Payaseunara yang berlatar belakang gunung dengan hutan tropis yang subur 

"Kota tua Sabang tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga menjadi ruang edukatif bagi generasi muda dan wisatawan untuk memahami perjalanan panjang Kota Sabang," ujar Pj Wali Kota Sabang, Andri Nourman.

Jantung Kota Sabang menyimpan kawasan kota tua yang masih berdiri kokoh dengan bangunan-bangunan berarsitektur kolonial. Gedung eks Kantor Pos dan Telegraf, dermaga tua, hingga benteng Jepang di atas bukit Kota Atas menjadi landmark historis yang menggambarkan perjalanan panjang Sabang, dari masa kolonial Belanda hingga Jepang.

Pemerintah Kota Sabang saat ini tengah menggagas revitalisasi kawasan kota tua sebagai destinasi wisata sejarah berbasis pelestarian budaya.

Rencananya  gedung-gedung tua yang sempat terbengkalai akan difungsikan ulang sebagai galeri sejarah, pusat informasi wisata, hingga ruang kreatif bagi masyarakat lokal.

"Kami ingin kota tua ini hidup kembali tanpa kehilangan jiwanya. Ini bukan sekadar pelestarian fisik bangunan, tapi juga membangkitkan identitas lokal," kata Andri.

Foto | Salah satu bangunan peninggalan Belanda yang berada di depan Kantor Wali Kota Sabang 

Tak hanya melalui pendekatan arsitektural, Pemko Sabang juga menjalin kolaborasi dengan komunitas sejarah dan pegiat budaya untuk menggali narasi-narasi lokal. Cerita dari masa lalu akan dituturkan kembali dalam bentuk yang relevan dan edukatif, menjadikan wisata kota tua sebagai ruang belajar lintas generasi.

Wisatawan yang memilih berjalan kaki di kawasan ini dapat menikmati langsung atmosfer masa lalu, sembari merasakan interaksi dengan masyarakat sekitar yang menjalani kehidupan di antara bangunan-bangunan tua.


Pengalaman yang tidak bisa digantikan oleh pemandangan dari balik kaca kendaraan

Salah satu kegiatan yang turut mempopulerkan wisata berbasis aktivitas fisik di Sabang adalah ajang Tour de Sabang, balap sepeda yang menjadi bagian dari agenda Sabang Marine Festival 2024 (SMF24). 

Foto | Peserta Tour de Sabang pada SMF 2024

Pada saat itu, sebanyak 125 peserta dari berbagai daerah di Indonesia ikut serta dalam ajang ini.

Mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, hingga Sulawesi Selatan, para pesepeda melintasi jalur indah sepanjang 31,9 km. Jalur ini dirancang untuk menyuguhkan lanskap pesisir dan perbukitan Pulau Weh yang menakjubkan. Tidak hanya menguji ketahanan fisik, jalur ini juga memanjakan mata.


Tugu Nol Kilometer Indonesia dipilih sebagai garis finis

Tugu ini tidak hanya ikonik karena menjadi titik paling barat Indonesia, tetapi juga menjadi tempat penyerahan hadiah secara simbolis kepada para pemenang.

Tepat di sisi kiri Tugu Nol Kilo Meter terdapat taman hutan yang mulai menjadi primadona baru bagi pengunjung. Dengan panorama laut lepas dan jajaran pohon hijau yang menyegarkan, Taman Hutan Kilometer Nol menjadi tempat sempurna untuk menutup perjalanan panjang, baik bagi pesepeda maupun pejalan kaki.

Foto | Tugu Kilometer Nol Indonesia pada malam hari

Taman ini memiliki fasilitas seperti bangku-bangku santai, jembatan kecil yang mengarah ke laut, dan titik-titik foto yang estetik. 

Di pagi hari, pengunjung bisa menyaksikan matahari terbit, dan pada sore menjelang malam mereka akan disuguhi matahari terbenam yang memesona.

“Tempat ini sangat cocok untuk relaksasi, refleksi, dan tentu saja, fotografi. Banyak wisatawan yang datang hanya untuk menikmati ketenangan di lokasi itu,” ungkap salah seorang petugas di lokasi tersebut. 

Jika Tugu Nol Kilometer mewakili simbol geografis, maka Desa Jaboi merupakan representasi dari kekayaan geologis dan budaya Sabang. Terkenal dengan Gunung Berapi Jaboi yang masih aktif, desa ini menawarkan panorama kawah vulkanik, uap panas bumi, hingga batuan eksotis yang membentuk lanskap unik.

Wisata trekking ke kawasan Gunung Jaboi bukan hanya untuk petualang, tetapi juga cocok untuk keluarga. Terdapat jalur-jalur pendek yang memungkinkan wisatawan menikmati panorama alam tanpa harus mendaki curam. Pengalaman menjadi makin menarik dengan adanya permainan ATV yang disediakan oleh warga lokal.

“Gunung Jaboi saat ini tidak dalam status berbahaya. Pengunjung tetap diperbolehkan datang, namun kami sarankan agar tetap berhati-hati,” jelas Andri Nourman.

Selain gunung dan panas bumi, Desa Jaboi juga aktif mengembangkan sektor ekonomi kreatif. 

Foto | Kawah Gunung Api Jaboi foto dari udara

Berbagai produk khas seperti kue bakpia, para pelaku wisata Gampong Jaboi  juga menawarkan kerajinan rotan dan suvenir dari batok kelapa menjadi buah tangan favorit bagi banyak wisatawan. Komunitas pemuda, termasuk Karang Taruna setempat, berperan aktif dalam produksi dan pemasaran produk-produk ini.

Satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari pengalaman trekking atau berwisata dengan berjalan kaki adalah interaksi dengan penduduk lokal. 

Dari sapaan sederhana hingga kisah masa lalu yang diceritakan langsung oleh warga, semuanya memperkaya perjalanan.

Di Sabang, hal ini menjadi kekuatan tersendiri. Setiap langkah di jalanan kota tua, setiap hentakan kaki di jalur gunung, hingga setiap persinggahan di warung kopi lokal membuka ruang untuk mengenal Sabang bukan hanya sebagai destinasi, tapi sebagai rumah dengan sejuta cerita.

Oleh karena itu, wisata berbasis trekking dan eksplorasi sejarah kini menjadi bagian dari rencana strategis pengembangan pariwisata jangka menengah.

“Kami ingin menghadirkan pengalaman wisata yang lebih mendalam, bukan hanya instan. Karena Sabang bukan hanya untuk dilihat, tapi untuk dipahami,” tutup Andri Nourman.[ADV]

0 Komentar