Foto | Ketua Forbina Muhammad Nur
Sabang.AGN - Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) meminta pemerintah pusat meninjau ulang Keputusan Menteri Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Forbina menduga, perubahan itu berkaitan dengan upaya pengalihan investasi migas lepas pantai dari Aceh ke Sumatera Utara.
Keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, pulau-pulau tersebut kini tercatat dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
“Ini bisa jadi bagian dari skenario untuk mengalihkan investasi minyak dan gas bumi lepas pantai ke Sumatera Utara, dengan mengabaikan hak pembagian hasil untuk Aceh,” kata Ketua Forbina, Muhammad Nur, dalam siaran pers di Banda Aceh, Sabtu (24/5/2025).
Muhammad Nur menilai, langkah tersebut berpotensi merugikan Aceh secara ekonomi dan memperlemah posisi provinsi itu dalam mengelola sumber daya alamnya sendiri. Ia juga menilai keputusan pemerintah pusat menunjukkan pengabaian terhadap keutuhan wilayah Aceh.
“Secara historis, keempat pulau itu adalah bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Banyak dokumen dan catatan administratif yang membuktikan hal ini,” ujarnya.
Pernyataan Forbina muncul setelah beredarnya salinan keputusan Mendagri yang menetapkan pemberian dan pemutakhiran kode wilayah pemerintahan dan pulau pada 25 April 2025. Informasi tersebut awalnya menyebar melalui media sosial, dan memicu reaksi sejumlah elemen masyarakat di Aceh.
Forbina meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan menyelesaikan persoalan ini secara adil. Selain itu, mereka juga mendesak Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), dan Wakil Gubernur Fadhlullah (Dek Fadh), untuk menunjukkan komitmen dalam memperjuangkan wilayah yang secara administratif dinilai telah “hilang”.
“Pemerintah Aceh tidak boleh tinggal diam. Janji politik saat kampanye harus dibuktikan dengan tindakan nyata. Kembalikan wilayah Aceh sesuai peta dan sejarah,” kata Muhammad Nur.
Ia menambahkan, isu tersebut bukan hanya soal batas wilayah, melainkan juga menyangkut kedaulatan ekonomi dan distribusi keadilan dalam pengelolaan kekayaan alam nasional.[REDAKSI]
0 Komentar