Foto | Aulia Prasetya, S.Pd (Dok.Pribadi) |
Sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kita selalu memperingati hari bersejarah ini dengan penuh suka cita. Upacara bendera, pawai, dan berbagai lomba diadakan di seluruh penjuru negeri untuk mengenang perjuangan para pahlawan yang telah berkorban demi kemerdekaan tanah air. Namun, di balik gegap gempita perayaan tersebut, kita harus bertanya dengan penuh kesadaran: apakah rakyat Indonesia benar-benar sudah merdeka, atau kita hanya sekadar merayakan ilusi kemerdekaan yang hampa?
Pertanyaan ini mengemuka di tengah berbagai realitas pahit yang masih dihadapi rakyat Indonesia. Apakah kemerdekaan yang kita nikmati saat ini hanyalah sebuah simbol, sementara penjajahan dalam bentuk lain masih terus membelenggu? Realitas yang dihadapi rakyat hari ini menunjukkan bahwa kemerdekaan yang sejati masih jauh dari jangkauan. Kesenjangan, pelanggaran HAM, dan ancaman terhadap demokrasi masih menjadi tantangan besar yang harus dihadapi.
Secara politik, Indonesia memang telah terbebas dari penjajahan asing sejak Proklamasi Kemerdekaan. Kita memiliki pemerintah, undang-undang, dan kedaulatan yang diakui secara internasional. Namun, apakah kemerdekaan ini nyata atau sekadar formalitas? Di balik pidato-pidato dan seremoni yang megah, rakyat Indonesia masih terjebak dalam penjajahan yang tak kasat mata, penjajahan ekonomi, sosial, dan politik yang terus menghantui kehidupan sehari-hari.
Dalam bidang ekonomi, kemerdekaan tampaknya hanya dinikmati oleh segelintir elit yang menguasai kekayaan negara. Sementara itu, mayoritas rakyat harus berjuang mati-matian untuk sekadar bertahan hidup. Sumber daya alam yang melimpah, bukannya membawa kesejahteraan, justru menjadi bancakan bagi korporat dan elit politik. Apakah ini yang disebut merdeka, ketika sebagian besar rakyat masih tenggelam dalam kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin menganga?
Kemerdekaan seharusnya juga berarti kebebasan dalam berpikir dan berbicara. Namun di negeri ini, kritik dianggap sebagai ancaman. Alih-alih mendengarkan suara rakyat, pemerintah lebih sering membungkamnya dengan berbagai cara, baik melalui kriminalisasi, intimidasi, maupun kekerasan. Para aktivis dan jurnalis yang berani bersuara kerap menjadi korban, menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat masih menjadi barang mahal di negeri yang katanya merdeka ini. Realitas ini menunjukkan bahwa sebagian rakyat Indonesia masih belum merasakan kemerdekaan yang utuh.
Dalam aspek hukum, kemerdekaan seharusnya berarti semua orang sama di depan hukum. Sayangnya, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Hukum di negeri ini sering kali hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa, sementara rakyat jelata harus rela menerima ketidakadilan. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi seringkali berakhir dengan hukuman ringan, atau bahkan tanpa hukuman sama sekali. Ketidakadilan ini membuat kita bertanya-tanya, apakah kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun ini benar-benar sudah dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia?
Tidak hanya itu, dari sisi politik, apakah kita benar-benar merdeka jika pilihan kita terus-menerus dibatasi oleh oligarki yang sama? Demokrasi kita semakin terjebak dalam pusaran kepentingan segelintir orang, yang mengatasnamakan rakyat tetapi sebenarnya hanya memperkaya diri sendiri. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi, sering kali berubah menjadi ajang manipulasi, di mana suara rakyat dibeli dengan harga murah.
Ironi kemerdekaan ini harus menjadi tamparan keras bagi kita semua. Merdeka bukan hanya soal kebebasan dari penjajahan asing, tetapi juga soal kebebasan dari segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Merdeka berarti memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesejahteraan, hak-hak yang dihormati, dan keadilan yang ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun tak lebih dari sekadar retorika kosong, sementara rakyat Indonesia terus hidup dalam penjajahan yang tak terlihat.
Sebagai bangsa, kita harus berani menghadapi kenyataan pahit ini. Kita harus menuntut pemerintah untuk benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kita harus berani menuntut keadilan, kesetaraan, dan kebebasan yang sejati, karena inilah hakikat dari kemerdekaan yang sesungguhnya.
Jika tidak, maka setiap kali kita mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan, kita hanya memperingati sebuah kemenangan yang kosong, sebuah kemerdekaan yang belum benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat perlu bahu-membahu untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang tidak hanya bebas secara politik, tetapi juga berkeadilan sosial-ekonomi serta terjaminnya hak-hak dasar warga negara. Kerja keras untuk mewujudkan kemerdekaan yang utuh masih terus berlanjut. Dibutuhkan komitmen dan kerja sama yang kuat dari seluruh elemen bangsa.
Penulis : Aulia Prasetya, S.Pd (Dari Ujung Barat Nusantara)
0 Komentar