Pertaruhan Kenegarawanan Hakim MK

Foto: Anggi Muliawati/detikcom

Jakarta.AGNMahkamah Konstitusi (MK) saat ini sedang membacakan putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024, Senin, 22 April, mulai pukul 09.00 WIB. Selama ini, faktor pembuktian acap menjadi momok bagi Pemohon untuk meyakinkan para Hakim Konstitusi, sebab ia menjadi pihak yang paling dibebani untuk membuktikan kualitas dan keabsahan dalil-dalilnya (actori incumbit probatio, actori onus probandi).


Mencermati sengketa Pilpres 2024 ini, esensi persoalannya sebenarnya sama dengan sengketa-sengketa pilpres terdahulu yakni perihal penegakan asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) sebagaimana tertera dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 versus realitas politik. Adapun hal baru ialah tentang irisannya dengan problem etik dan nepotisme berupa dugaan adanya intervensi kekuasaan eksekutif yang digawangi oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Paslon 02).

Dimulai dari munculnya problem etik berat "Mahkamah Keluarga", berlanjut dengan adanya pelanggaran etik berat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), lalu dikorelasikan dengan dugaan penyalahgunaan kebijakan, program, dan anggaran bantuan sosial (bansos), pelibatan menteri hingga aparatur mulai dari penjabat kepala daerah, birokrasi, intelijen, TNI/POLRI, kepala desa, pun termasuk manipulasi data pemilih, politik uang, dan pelanggaran pencoblosan yang kesemuanya itu berbenturan dengan realitas politik bahwa mayoritas pemilih telah memenangkan Paslon 02.

Guna menimbang beragam dalil tersebut, Hakim Konstitusi tentunya dihadapkan pada tujuan hukum yang oleh filsuf hukum Gustav Radbruch (1878-1949) dinyatakan acap bersitegang yaitu antara keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Bila merujuk pada irah-irah putusan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", maka dapat disimpulkan bahwa tujuan berhukum --melalui jalur litigasi-- ialah mengerucut guna mencapai keadilan yang tak lepas dari panduan prinsip dan nilai keilahian.

Dimungkinkan para pihak yang berperkara akan melakukan beragam upaya untuk memenangkan sengketa. Namun, menjadi kewajiban mutlak bagi para hakim untuk memerdekakan dirinya dari segala pengaruh, bahkan ancaman, sebab mereka hanya patuh pada norma dan bertanggung jawab atas otoritas yang diamanahkan padanya sesuai sumpah jabatan serta tunduk pada perintah dan larangan Tuhan.

Tetapi, adanya vonis pelanggaran etik berat di MK menjadi bukti otentik bahwa sebagai insan, oknum pengadil ternyata tak luput dari potensi keberpihakan atau ketertundukan pada aspek-aspek yang sebenarnya tak kekal dan tak sakral. Oleh karenanya, sengketa Pilpres 2024 ini merupakan ajang pembuktian guna mengembalikan kepercayaan publik kepada MK. Tak pelak, keadilan harus dihadirkan.

Menggapai Keadilan

Terdapat dua aspek pertimbangan yang acap digunakan oleh MK untuk menggapai keadilan, khususnya di dalam sengketa elektoral, yaitu keadilan prosedural dan keadilan substantif yang serupa dua sisi mata uang.

Pada aspek keadilan prosedural, yang patut ditimbang ialah apakah prosedur kontestasi telah diatur dan dilaksanakan secara fairplay dan terjamin fairness-nya bagi setiap peserta. Sebab, berlaku prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal yang menyatakan "tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain."
Pada aspek keadilan substantif, kontestasi tentunya tak bisa dianggap "luber jurdil" tatkala salah satu peserta menjadi lebih dominan bukan murni karena kualitas kemampuan dirinya, melainkan lebih karena disokong oleh sumber daya yang otoritatif dan manipulatif di belakangnya. Terlebih, apabila terbukti "permainan cantik" yang dihasilkan ialah bersumber dari kelihaian mengkondisikan dan mengutak-atik norma-kebijakan, berani menabrak batasan etika, serta bersekongkol dengan penyelenggara, pengawas, bahkan pengadil.

Oleh karena tercium indikasi yang menyengat bahwa segala macam cara perlu dilakukan guna memenangkan kontestasi elektoral di Pilpres 2024 ini, maka selain alat bukti dari para pihak yang bersengketa, adanya keterangan pihak terkait seperti para menteri yang dihadirkan di persidangan, maupun keterangan tertulis dari para sahabat pengadilan (amicus curiae), menjadi tambahan asupan penting guna semakin meyakinkan Hakim Konstitusi dalam memutus sengketa a quo.

Catatan Penting

Apapun hasil putusannya nanti, setidaknya terdapat catatan penting yang hendaknya dimunculkan oleh para Hakim Konstitusi --yang berdasar Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 juga mengemban amanah sebagai negarawan-- di dalam pertimbangan hukumnya, yaitu bahwa pilpres seyogianya tak dipersempit maknanya menjadi sekadar untuk menggiring publik guna menentukan siapa menang-siapa kalah. Adanya anasir atau narasi satu putaran dan penghematan anggaran hendaknya tak mempengaruhi pertimbangan MK untuk menentukan nilai kebermanfaatan atau kemaslahatan demi menjamin terwujudnya peradaban bangsa yang lebih baik ke depannya.

Selain itu, pilpres sejatinya ialah wahana, alat, media, atau prosedur untuk memilih pucuk pimpinan dan puncak kepemimpinan yang idealnya mensyaratkan keteladanan yang tercermin melalui tindak tanduk yang beradab atau beretika, melengkapi ketaatan pada aturan main, guna memastikan bahwa paslon terpilih memang dinilai pantas menduduki posisi dan peran strategis.

Pada akhirnya, melalui Putusan MK, publik diharapkan juga memahami bahwa pilpres tak sekadar ajang untuk memilih dan melegitimasi politicians (aktor politik) yang cenderung berkiblat pada kepentingan tertentu dan temporal belaka, tapi lebih daripada itu ialah tentang statesmanship (kenegarawanan) yang berpihak pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah mengapa, dalam memutus sengketa Pilpres 2024 ini, peran krusial kenegarawanan Hakim Konstitusi ikut dipertaruhkan.

Dilansir dari laman detiknews

0 Komentar