Alasan Bumi Makin Panas Bikin Virus Mudah Pindah ke Manusia

 

Peneliti dari Institut Pasteur du Cambodge mengambil swab oral dari kelelawar yang ditangkap di Bukit Chhngauk, Distrik Thala Borivat, Provinsi Steung Treng, Kamboja. Foto: Cindy Liu/Reuters

AGN - Penelitian terbaru di jurnal Nature memprediksi bahwa pemanasan global akan menyebabkan 4.000 virus berpindah dari satu mamalia ke yang lain, termasuk yang memiliki potensi berpindah dari hewan ke manusia, per tahun 2070.
Iklim yang semakin panas akan memaksa hewan berpindah ke ekosistem yang lebih dingin. Ketika hewan-hewan berkumpul di tempat yang baru dan bertemu spesies hewan lain, akan ada potensi perpindahan virus dari satu spesies ke spesies lain.
Kemudian ada juga potensi zoonosis, transmisi virus dari hewan ke manusia. Risiko zoonosis semakin besar jika habitat hewan berdekatan dengan tempat tinggal manusia.
Penelitian menyorot kelelawar sebagai salah satu hewan yang memiliki risiko besar menjadi agen penyebar karena kelelawar adalah pemeran penting di ekosistem sekaligus satu-satunya mamalia yang bisa terbang.
Total ada 4.000 virus mamalia yang akan menyebar antar spesies, dan beberapa di antaranya memiliki risiko berpindah ke manusia, dan mungkin menyebabkan endemi atau bahkan pandemi.
“Tetapi masing-masing memiliki potensi untuk mempengaruhi kesehatan hewan dan mungkin kemudian menyebar ke populasi manusia,” kata Greg Albery, salah satu penulis penelitian kepada CNBC. “Bagaimanapun, ini kemungkinan akan menjadi berita yang sangat buruk bagi kesehatan ekosistem yang terkena dampak.”

Alasan virus dapat berpindah

Akibat pemanasan global, temperatur ekosistem di banyak tempat akan semakin memanas. Hal ini mengakibatkan hewan akan bermigrasi ke wilayah yang lebih dingin. Ketika spesies yang bermigrasi bertemu dengan spesies lain di ekosistem tersebut—hewan penghuni asli atau hewan yang juga bermigrasi—maka akan terjadi kontak. Kontak tersebut memiliki potensi transmisi virus antar spesies.
Ilmuwan di penelitian ini mencantumkan beberapa wilayah, yang berdasarkan simulasi, akan menjadi hotspot transmisi virus. Wilayah ini pun tumpang tindih dengan wilayah dengan populasi manusia.
Indonesia masuk di daftar hotspot, Bersama dengan dataran tinggi Sahel (Afrika), timur China dan India. Per 2070, transmisi virus antar spesies ini akan mencapai puncaknya.
Ilustrasi virus Marburg. Foto: Wikimedia Commons
Kasus virus yang muncul akibat hewan yang berpindah ke ekosistem yang lebih dingin sudah terjadi saat ini. Misal di Kanada, ada wabah kutu (tick) yang menyerang setelah dekade lamanya tidak ada penyakit Lyme menyerang populasi di sana.
Di Arktik, epidemiologis menemukan virus anjing laut Atlantik berpindah ke berang-berang Pasifik setelah es di Arktik meleleh menyebabkan kedua spesies tersebut dapat melakukan kontak.
Contoh lain adalah kalong Australia yang selama dekade terakhir bergerak ke selatan benua dan menularkan virus zoonosis Hendra ke populasi kuda domestik.
“Ini adalah studi menarik yang menempatkan perkiraan kuantitatif pada apa yang telah dikatakan sejumlah ilmuwan selama bertahun-tahun (termasuk saya): perubahan iklim – bersama dengan faktor lain – akan meningkatkan peluang untuk pengenalan, pembentukan, dan penyebaran virus ke wilayah geografis baru. lokasi dan spesies inang baru,” Matthew Aliota, seorang profesor Departemen Ilmu Kedokteran Hewan dan Biomedis di University of Minnesota, mengatakan kepada CNBC. Aliota sama sekali tidak terlibat dalam penelitian ini.
“Sayangnya, kita akan terus melihat kejadian penyakit zoonosis baru dengan frekuensi dan cakupan yang meningkat,” kata Aliota.
Sebuah studi tahun 2013 di jurnal Nature mengestimasi bahwa ada 320 ribu virus yang menghuni tubuh seluruh spesies mamalia.
Belum bisa dipastikan berapa dari 5.000 virus di atas yang akan menginfeksi manusia. Namun yang pasti risikonya tidak dapat diabaikan
Studi ini setidaknya bisa menjadi peringatan dini bahwa bahaya dari perubahan iklim tidak hanya terpaku kepada suhu yang semakin panas atau kota metropolitan yang akan tenggelam. Belajar dari COVID-19, manusia membutuhkan persiapan yang lebih matang menghadapi pandemi.
“Gambaran besar, kesiapsiagaan adalah kuncinya dan kami perlu berinvestasi dalam penelitian, deteksi dini, dan sistem pengawasan,” kata Aliota.
“Studi seperti ini dapat membantu mengarahkan upaya tersebut dengan lebih baik dan menekankan perlunya memikirkan kembali pandangan kita dari pandangan yang berfokus pada manusia tentang risiko penyakit zoonosis ke pandangan ekosentris.”
Dilansir dari laman kumparan Sains

0 Komentar